Sabtu, 21 Februari 2015

Sebuah Fenomema Bernama Blackberry

Ini adalah tulisan saya tahun 2013.. Bar kepikiran untuk mempostingnya di blog sekarang. Artikel yang saya buat ini pun sebeumnya telah pernah terbit di Koran Padang Express,,, berikut tulisannya. Sebuah Fenomena Bernama “Blackberry”. Oleh: Ade Alfath Azmi Mahasiswa Sastra Ingris S1 Unand. Beberapa tahun belakangan ini industri telekomunikasi bertumbuh pesat. Tidak salah jika bidang telekomunikasi ini berperan atas pertumbuhan ekomoni nasional yang 6,5% itu. Di era modern dan serba digital sekarang, informasi telah menjadi bagian dari kehidupan umat manusia. Jika dahulu informasi dan komunikasi hanya bisa diakses oleh beberapa golongan orang tertentu saja, kini semua orang bahkan dari kalangan akar rumput pun bisa mengaksesnya dengan mudah. Salah satu alat komunikasi tersebut adalah Handphone. Sekarang handphone tidak lagi menjadi barang sekunder, tapi telah menjadi barang primer yang setiap orang memilikinya. Semakin murahnya harga handphone dan banyaknya akses yang bisa dicapai untuk mendapatkan barang tersebut ( secara kredit) membuat perkembangannya semakin pesat. Para produsen kenamaan sampai yang gurem pun tergiur oleh antusias pasar yang begitu besar sehingga mereka berlomba-lomba untuk menciptakan inovasi baru yang lebih canggih. Sekarang ini banyak beredar handphone canggih yang disebut-sebut handphone pintar atau disebut juga smartphone. Perkembangan smartphone dua tahun belakang ini pun terus menunjukkan perkembangan. Salah satu smartphone yang paling diminati adalah BlackBerry, terutama bagi kalangan bisnis dan anak remaja. Fitur-fitur canggih yang khusus dan spesifik dibuat untuk memancarkan identitas dari produk tersebut. BlackBerry mempunyai BlackBerry Messenger nya. Yang akan saya bahas disini bukanlah fitur tersebut, tapi dampak sosial yang ditimbulkan oleh BlackBerry tersebut. Dampak pertama yang ditimbulkan oleh BlackBerry adalah individu-individu menjadi anti sosial. Ponsel BlackBerry sepertinya telah berhasil menjadi budaya pengalih perhatian yang kuat. Orang-orang kini lebih sibuk dengan BlackBerry mereka dibandingkan sibuk dengan masalah lingkungan sosial mereka. Dengan ponsel yang ada di genggaman, orang-orang tidak lagi acuh dengan lingkungan sosialnya, tidak lagi acuh dengan lawan bicaranya, orang - orang lebih tertarik becengkrama di dunia maya dibandingkan dunia nyata. Kadar silatuhrahmi antar individu secara nyata pun berangsur-angsur memudar dan digantikan oleh percakapan/message melalui pesan singkat ataupun lewat pesan BlackBerry Messenger. Tentu ucapan seperti “cuaca hari ini cerah ya” yang biasa tertutur dari sesama penumpang yang belum kenal di halte pun tidak terdengar lagi. Dampak kedua, munculnya sikap berbangga diri/sombong. Tidak bisa dipungkiri bahwa ponsel BlackBerry indentik dengan ponsel kelas atas. Ya, karena harganya yang mahal, ponselnyapun dituntut untuk selalu berpulsa agar layanan dan fitur yang ada pada ponsel tersebut dapat diakses secara maksimal. Bahkan seperti yang dikutip dari detik.com Ahok (Basuki Cahaya Purnama, Wakil Gubernur DKI) akan mencabut Kartu Jakarta Pintar kalau mahasiswanya mempunyai BlackBerry. Jelas saja bahwa para pemakai ponsel BlackBerry dianggap sebagai orang kelas atas, gaul, dan mengikuti perkembangan zaman. Orang-orang yang menggunakan ponsel BlackBerry merasa kalau mereka adalah orang yang modern. Mudah dilihat adanya ponsel BlackBerry berada di atas meja makan/cafĂ© dimana tempat orang-orang menghabiskan waktu santai mereka. Sangat terlihat bahwa mereka bangga akan BlackBerry yang mereka punyai sehingga telah menjadi trend pula kalau BlackBerry itu diletakkan di atas meja. Sadar atau tidak, dampak tersebut telah kita rasakan pada saat ini. gaya hidup masyarakat yang tidak cerdas serta serbuan kapitalis telah menimbulkan gejala juvenilisasi. Marcel Danesi mengatakan bahwa jiwa masyarakat modern telah diiisi oleh citraan, pesan dan tontonan media sehingga muncul perasaan ‘merasa muda’ dari orang-orang tersebut, baik secara sosial maupun fisik. Lebih lanjut lagi Roland Barthes member istilah ‘neomania’ sebagai rasa haus terus menerus terhadap segala sesuatu objek konsumsi yang baru dan hiburan semata. Apa yang perlihatkan oleh danesi dan barthes jelas, bahwa masyarakat kita dewasa ini telah menjadi masyarakat yang konsumerisme. Kita sebagai orang yang berakal budi tentu diharapkan bisa memilah-milah apa yang baik, apa yang tidak baik bagi kehidupan kita. Semoga apa yang dikatakan barthes dan danesi tersebut tidak menrenggut akal kita; satu-satunya yang membedakan kita dengan binatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar