Sabtu, 21 Februari 2015

Indonesiakah Kita??

Catatan lama, yang telah berumur 2 tahun lalu baru sempat terpublish juga sekarang Sebuah kata bernama “INDONESIA” Akhir-akhir ini kata INDONESIA seringkali kita dengar. Entah itu diucapkan oleh negarawan, selebriti, politisi, olahragawan ataupun orang awam. Biasanya mereka muncul di radio, televise, majalah Koran , internet ataupun media-media lainnya. Adakah yang salah dari kata INDONESIA?. Jawabanya jelas TIDAK. Indonesia ataupun lengkapnya bernama Repuplik Indonesia adalah Negara kita. Negara tercinta yang penuh dengan potensi alam ataupun manusianya. lalu kenapa penulis membuat tulisan ini?. Kata-kata cinta Indonesia seringkali di ucapkan oleh seseorang yang berprestasi diluar di tingkat internasional yang memang lahir di Indonesia ataupun keturunan dari Indonesia. Apakah itu seorang atlet, seorang artis ataupun public figure lainnya. Mereka hanya lahir atau keturunan Indonesia, sudah merasa mewakili Indonesia. Apa yang salah dari ini? jelas sekali bahwa sebuah kata ‘indonesia’ itu adalah kata yang berkonotasi luas. Jangan karna hanya mewakili Indonesia, sudah merasa ‘Indonesia sejati’ atau bahasa gaulnya ‘indonesia banget’. Hal yang lucunya adalah ada beberapa orang yang bahkan tidak tahu kapan Indonesia merdeka sudah merasa Indonesia banget. Atau hanya tinggal di daerah ibu kota Negara sudah merasa Indonesia banget. Kata indonesia tidaklah sesederhana itu. Indonesia itu sangat luas, terbentang dari sabang sampai merauke. Lucu rasanya kalau ada seseorang yang mengaku cinta Indonesia tapi yang mereka ketahui sedikit sekali bahakan tidak tahu apa-apa tentang Indonesia, bahkan mungkin Indonesia yang mereka kenal hanyalah Jakarta, tapi mereka merasa sudah mewakili Indonesia. Bahkan mungkin mereka yang memprokamirkan diri yang mewakili, mempromosikan Indonesia (di ajang international) atau mengaku cinta Indonesia ada yang tidak hafal dengan lagu Indonesia Raya dan pancasila. Ke-Indonesia-an seseorang memang tidak mutlak diukur dari kehafalan mereka terhadap lagu dan pancasila, tetapi sungguh ironis juga kalau kita mengaku-ngaku ‘indonesia banget’ kalau tak tahu dasar Negara. Ada pepatah yang mengakatan kalau ‘tidak kenal, makan tak sayang, tak sayang maka tak cinta’. Bagaimana mungkin kita mencintai Indonesia kalau kita tidak tahu menahu tentang Indonesia. Atau apakah bagi kita Indonesia itu hanya sebuah kata sebagai sebutan bagi Negara kita ini. tidak salah memang, tapi tentu tidak sesederhana itu juga mengobral kata-kata ‘cinta indonesia’ ataupun ‘indonesia banget’ tanpa pengetahuan akan Negara tercinta ini, Republik Indonesia. Menurut saya apa yang dilakukan oleh orang-orang di luar sana yang mengobral kata-kata Indonesia tak lebih dari sekedar komoditi belaka. Mereka menjual ‘Indonesia’ untuk uang, untuk citra yang semata-mata demi keutungan mereka pribadi atau kelompok, dengan itu mereka dapat mendapatkan simpati dan dukungan dan apresiasi dari masyarakat indonesia. Cinta Indonesia yang mereka lakukan meleset dari makna sesungguhnya cinta kepada Negara, cinta Indonesia mereka hanyalah cinta akan uang yang dihasilkan (Secara tidak langsung) dengan mengobral kata “Demi Indonesia”.

Sebuah Fenomema Bernama Blackberry

Ini adalah tulisan saya tahun 2013.. Bar kepikiran untuk mempostingnya di blog sekarang. Artikel yang saya buat ini pun sebeumnya telah pernah terbit di Koran Padang Express,,, berikut tulisannya. Sebuah Fenomena Bernama “Blackberry”. Oleh: Ade Alfath Azmi Mahasiswa Sastra Ingris S1 Unand. Beberapa tahun belakangan ini industri telekomunikasi bertumbuh pesat. Tidak salah jika bidang telekomunikasi ini berperan atas pertumbuhan ekomoni nasional yang 6,5% itu. Di era modern dan serba digital sekarang, informasi telah menjadi bagian dari kehidupan umat manusia. Jika dahulu informasi dan komunikasi hanya bisa diakses oleh beberapa golongan orang tertentu saja, kini semua orang bahkan dari kalangan akar rumput pun bisa mengaksesnya dengan mudah. Salah satu alat komunikasi tersebut adalah Handphone. Sekarang handphone tidak lagi menjadi barang sekunder, tapi telah menjadi barang primer yang setiap orang memilikinya. Semakin murahnya harga handphone dan banyaknya akses yang bisa dicapai untuk mendapatkan barang tersebut ( secara kredit) membuat perkembangannya semakin pesat. Para produsen kenamaan sampai yang gurem pun tergiur oleh antusias pasar yang begitu besar sehingga mereka berlomba-lomba untuk menciptakan inovasi baru yang lebih canggih. Sekarang ini banyak beredar handphone canggih yang disebut-sebut handphone pintar atau disebut juga smartphone. Perkembangan smartphone dua tahun belakang ini pun terus menunjukkan perkembangan. Salah satu smartphone yang paling diminati adalah BlackBerry, terutama bagi kalangan bisnis dan anak remaja. Fitur-fitur canggih yang khusus dan spesifik dibuat untuk memancarkan identitas dari produk tersebut. BlackBerry mempunyai BlackBerry Messenger nya. Yang akan saya bahas disini bukanlah fitur tersebut, tapi dampak sosial yang ditimbulkan oleh BlackBerry tersebut. Dampak pertama yang ditimbulkan oleh BlackBerry adalah individu-individu menjadi anti sosial. Ponsel BlackBerry sepertinya telah berhasil menjadi budaya pengalih perhatian yang kuat. Orang-orang kini lebih sibuk dengan BlackBerry mereka dibandingkan sibuk dengan masalah lingkungan sosial mereka. Dengan ponsel yang ada di genggaman, orang-orang tidak lagi acuh dengan lingkungan sosialnya, tidak lagi acuh dengan lawan bicaranya, orang - orang lebih tertarik becengkrama di dunia maya dibandingkan dunia nyata. Kadar silatuhrahmi antar individu secara nyata pun berangsur-angsur memudar dan digantikan oleh percakapan/message melalui pesan singkat ataupun lewat pesan BlackBerry Messenger. Tentu ucapan seperti “cuaca hari ini cerah ya” yang biasa tertutur dari sesama penumpang yang belum kenal di halte pun tidak terdengar lagi. Dampak kedua, munculnya sikap berbangga diri/sombong. Tidak bisa dipungkiri bahwa ponsel BlackBerry indentik dengan ponsel kelas atas. Ya, karena harganya yang mahal, ponselnyapun dituntut untuk selalu berpulsa agar layanan dan fitur yang ada pada ponsel tersebut dapat diakses secara maksimal. Bahkan seperti yang dikutip dari detik.com Ahok (Basuki Cahaya Purnama, Wakil Gubernur DKI) akan mencabut Kartu Jakarta Pintar kalau mahasiswanya mempunyai BlackBerry. Jelas saja bahwa para pemakai ponsel BlackBerry dianggap sebagai orang kelas atas, gaul, dan mengikuti perkembangan zaman. Orang-orang yang menggunakan ponsel BlackBerry merasa kalau mereka adalah orang yang modern. Mudah dilihat adanya ponsel BlackBerry berada di atas meja makan/cafĂ© dimana tempat orang-orang menghabiskan waktu santai mereka. Sangat terlihat bahwa mereka bangga akan BlackBerry yang mereka punyai sehingga telah menjadi trend pula kalau BlackBerry itu diletakkan di atas meja. Sadar atau tidak, dampak tersebut telah kita rasakan pada saat ini. gaya hidup masyarakat yang tidak cerdas serta serbuan kapitalis telah menimbulkan gejala juvenilisasi. Marcel Danesi mengatakan bahwa jiwa masyarakat modern telah diiisi oleh citraan, pesan dan tontonan media sehingga muncul perasaan ‘merasa muda’ dari orang-orang tersebut, baik secara sosial maupun fisik. Lebih lanjut lagi Roland Barthes member istilah ‘neomania’ sebagai rasa haus terus menerus terhadap segala sesuatu objek konsumsi yang baru dan hiburan semata. Apa yang perlihatkan oleh danesi dan barthes jelas, bahwa masyarakat kita dewasa ini telah menjadi masyarakat yang konsumerisme. Kita sebagai orang yang berakal budi tentu diharapkan bisa memilah-milah apa yang baik, apa yang tidak baik bagi kehidupan kita. Semoga apa yang dikatakan barthes dan danesi tersebut tidak menrenggut akal kita; satu-satunya yang membedakan kita dengan binatang.